Peresmian Rumah Restorative justice Teluk Bintuni, Kajati PB Wujudkan Keadilan Hukum Yang Hakiki
LihatPapua.com ||BINTUNI~ Kepala kejaksaan tinggi ( Kejati )Papua barat, Juniman Hutagaol didampingi Bupati Teluk Bintuni Ir Petrus kasihiw , Wakil Bupati Matret Kokop dan Kajari Teluk Bintuni johny A.Zebua meresmikan rumah Restorative justice di kampung Korano jaya Sp2, Distrik Menimeri. Senin (25/7/2022).
Laporan ketua peresmian rumah keadilan Restorative justice Kajari Teluk Bintuni Johny A.Zebua menyampaikan Rumah Restorative justice yang pertama dikabupaten teluk Bintuni yang difasilitasi oleh Bupati dan kadin pemberdayaan masyarakat dan kampung.
Rumah Restorative justice yang pertama kali dikabupaten Teluk Bintuni merupakan rumah yang akan mendamaikan persoalan yang timbul sesuai kesepakatan dan keadilan tanpa proses hukum.
“Rumah Restorative justice diharapkan menjadi rumah benteng mencari keadilan yang terakhir” ucap kejari
“Kabupaten teluk Bintuni terdiri dari 24 Distrik kami akan kejaksaan akan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk ada rumah Restorative justice disetiap Distrik, agar masyrakat tidak terlalu jauh untuk menyelesaikan persoalan hukum, biar kami kejaksaan yang menuju ke Distrik tersebut” harap kajari
Kejati papua Barat Juniman Hutagaol SH,MM , mengatakan Perkembangan masyarakat telah mempengaruhi pergeseran paradigma penegakan hukum yang mana paradigma keadilan retributif (pembalasan) telah bergeser menjadi keadilan restorative.
Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang mana Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan Keadilan Restoratif.
Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai kerugiannya minim, Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada Keadilan Restoratif.
Perkembangan lain adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya Mediasi Penal.
Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary),Kejaksaan sebagai institusi Penegak hukum yang merupakan sumber daya manusia penegakan hukum dimasyarakat yang telah mampu mewujudkan cita-cita ideal penegakan hukum melalui Keadilan Restorative mengingat dimana Restorative Justice telah menjadi budaya hukum sehingga terjadi pergeseran instrumen pidana, dimana bukan lagi sebagai ultimum remidium namun menjadi premium remidium.
Seolah-olah persoalan dan permasalahan di masyarakat, termasuk perselisihan dalam keluarga, kerabat dan di lingkungan tempat tinggal, semuanya hanya dapat diselesaikan melalui jalur peradilan pidana.
Konsep restorative ini menggaris bawahi bahwasanya tujuan pidana adalah untuk memulihkan keadaan.,Keadilan Restorative Justice hadir sebagai pendekatan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyeleaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan pada pembalasan.
Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara diluar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi sebagai sarana penyelesaian perkara antara pelaku dengan korban dimana salah satu syarat pelaku bisa mendapatkan Restorative Justice adalah belum pernah dihukum, kemudian ancaman hukuman dari perbuatan pelaku tersebut kurang dari 5 tahun, yang salah satu contohnya yaitu kasus pencurian yang nilai barang curiannya tidak lebih dari Rp. 2.500.000.
Bahwa tujuan dari teori keadilan Restorative sendiri yaitu keharusan untuk meyakini dan mengupayakan bahwa korban kejahatan atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan Semula seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Tujuan Restorative Justice itu sendiri adalah untuk mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama.
“Pelaksanan Restorative Justice yaitu untuk mewujudkaan keadilan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum, maka penerapan hati nurani adalah sebuah keutamaan” kata kajati
Maka untuk mengimpelementasikan hati nurani tersebut di realisasikan dengan baik dan bijak dalam koridor penegakan hukum melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice.
Perja ini diharapkan dapat menjadi momentum yang mengubah wajah penegakan hukum di Indonesia. Dimana tidak ada lagi kasus seperti nenek Minah dan Kakek Samirin yang sampai ke meja hijau, tidak akan ada lagi penegakan hukum yang hanya melihat kepastian hukumnya saja, dan tidak akan ada lagi hukum yang hanya tajam kebawah.
“Dengan dasar konstitusi ini, maka setiap orang termasuk para jaksa berhak untuk menggunakan hati nuraninya” kata Kajati
Dimana, hati nurani tersebut bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus. Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan hati nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna.
Semakin tinggi nilai penggunaan hati nurani maka semakin tinggi pula nilai keadilan hukum yang diwujudkan keadilan hukum yang hakiki dengan berpijak pada kemanfaatan dan kepastian hukum yang dicapai secara bersamaan melalui hati Nurani.
Bahwa ada beberapa peristiwa hukum, dimana penegak hukum melakukan penegakan hukum sesuai ketentuan Undang undang, namun itu sangat mencederai dan melukai rasa keadilan masyarakat seperti contoh suatu peristiwa pidana yang dilakukan oleh warga-masyarakat kecil walaupun memang cukup bukti dan diatur dalam“undang undang dan dapat dikenai sanksi pidana, dilimpahkan ke pengadilan, lalu dihukum, tentunya sangat menarik perhatian masyarakat, dan menjadi viral di media sosial. Netizen akan ramai ramai mengifijat para APH, Polisi-JaksaHakim, seperti-kasus:
A. Nenek Minah, yang melakukan pencurian tiga buah kakao di sebuah perkebunan Rumpun Sari Antan, divonis 1 bulan 15 hari, VW 3 bulan, ini mengusik rasa keadilan masyarakat, seorang nenek yang tua renta tetap menjalani proses hukum yang panjang.
B. Kasus yang menimpa Sabirin juga demikian. Pria 68 tahun itu mencuri getah karet senilai Rp,17.000.
C. Kasus di Karawang, suami memenjarakan istri KDRT padahal suaminya suka mabuk-mabukan dan judi, dan kasus kasus lain.
“Kasus-kasus ini merupakan suatu perkara/kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah dengan perdamaian antara pelaku dan korban sehingga rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi, atas dasar itu Jaksa Agung RI merespon, mengatensi harapan, impian dan kemauan warga masyarakat ini dengan menerbitkan Perja nomor 15 tahun 2020, yang intinya melakukan penyelesaian perkara hingga menghentikan penuntutan berdasarkan erestorative justice dengan mengedepankan “Hati Nurani” seperti kalimat dari Jaksa Agung Republik Indonesia yaitu “ Ingat, Rasa Keadilan Tidak Dalam Text Book, Tetapi Ada Dalam Hati Nurani”
“Bahwa kami tak henti-hentinya mendorong Kejaksaan Negeri yang masuk dalam wilayah kejaksaan Tinggi Papua Barat untuk melakukan RJ jika perkara tersebut memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Perja Nomor 15 Tahun 2020 bahkan hal tersebut kami maksimalkan dengan membentuk Rumah Restoratif Justice diberbagai Kabupaten pada Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Papua Barat, hal ini dapat terbentuk berkat Kerjasama dengan Kepala Daerah, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama serta seluruh Pihak masyarakat yang telah merenspon positif tentang pembentukan rumah Restoratif Justice.” pungkas Kajati
Sumber; || M.S